Cara Saya Mengenal Papua

Meskipun saya belum pernah ke Papua, tapi itu bukanlah alasan untuk tidak mengenal Papua, kemajuan teknologi informasi dan komunikasi saat ini memberi ruang yang sangat lebar kepada siapa saja yang mau mengenal daerah lain yang belum pernah dikunjungi, termasuk saya yang belum pernah mengunjungi Tanah Papua. Yang menentukan adalah bagaimana cara kita mengenalnya, “salah membaca referensi, sudah pasti sesat dijalan” itu sama dengan pepatah lama yang masih relevan hinggat saat ini yakni malu bertanya sesat djalan! Dalam Catatan Lepas ini saya berbagi pengalaman bagaimana cara saya mengenal Papua meskipun belum pernah ke Tanah Papua berawal dari tanah kelahiran Kota Kupang-Nusa Tenggara Timur (NTT) hingga ke tanah perantauan Kota Salatiga-Jawa Tengah.

Pertama Kali Mengenal Papua dari Kupang

Saya mengenal Papua sudah sejak lama mulai dari pelajaran di bangku Sekolah Dasar (SD Negeri Naikoten 2 Kupang) lewat mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) khususnya tentang geografi (yang paling menantang ketika di kelas 6 SD adalah belajar menggambar peta dengan meniru buku atlas atau globe dan kemudian belajar menebak nama kabupaten/kota atau provinsi melalui peta buta), termasuk menebak di mana letak Jayapura, Merauke, Fak-fak, Sorong dan lain-lain. Di Sekolah Menengah Pertama (SMP Negeri 4 Kupang, Sekarang SMP Negeri 3 Kota Kupang), juga dari mata pelajaran IPS khususnya tentang antropologi, saya mulai mengetahui Koteka sebagai pakaian tradisional orang Papua, meski hanya gambaran umum saja.

Selain dari pelajaran di sekolah, saya juga mengenal Papua melalui lagu Sajojo walaupun tidak tahu apa makna dari lagu Sajojo, yang pasti lagu dan tarian Sajojo yang dinamis masih saya hafal hingga saat ini, lagu yang dipopulerkan oleh vocal group asal Papua The Black Brothers sekitar Tahun 1990an itu adalah menu wajib bagi masyarakat NTT saat menggelar acara pesta (syukuran) seperti syukuran hari ulang tahun kelahiran, pesta pernikahan maupun syukuran wisuda begitu juga dengan kegiatan gembira lainnya seperti perkemahan Pramuka atau masa penerimaan mahasiswa baru, lagu dan tarian Sajojo menjadi menu wajib di era 1990an-2000an.

Karakter masyarakat Papua juga saya kenal dari penampilan klub sepak bola Persipura di lapangan hijau terutama penampilan Rully Nere, salah satu pemain yang terkenal di masa saya masih remaja di Kupang, dari penampilan Rully Nere dilayar kaca Televisi Republik Indonesia (TVRI), di mana TVRI merupakan satu-satunya stasiun televisi di era Tahun 1990an, dan saya semakin yakin bahwa orang Papua jago bermain sepak bola, ternyata dugaan saya dimasa remaja tidak meleset, dari Persipura lahir sejumlah pesepakbola nasional dan internasional seperti Trio Solossa (Boaz, Ortizan dan Nehemia), Todd Rivaldo Ferre, Marinus Manewar, dll.

Cara saya mengenal Papua di Kupang hanya bersifat sementara saja, memanfaatkan momentum, tidak secara mendalam. Justru saya semakin dekat dalam memahami Papua ketika melanjutkan studi di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga pada Tahun 2005. Kampus UKSW sudah sejak lama dikenal sebagai Kampus “Indonesia Mini” di mana mahasiswa dan dosennya berasal dari berbagai daerah di Indonesia termasuk dari Papua.

Lebih Dekat Dengan Papua Ketika di Salatiga

Saat kuliah di UKSW, saya tinggal di Asrama Mahasiswa UKSW di Jl. Kartini No. 11 A Kota Salatiga (populer dengan nama Askarseba, singkatan dari Asrama Kartini 11 a). Di Askarseba, saya tinggal di Unit VII (unit khusus mahasiswa pascasarjana) beberapa penghuninya adalah mahasiswa asal Papua dari mereka lah saya semakin mengenal Tanah Papua secara mendalam. Di Aksarseba, saya langganan koran Kompas (sampai saat ini masih tetap langganan Kompas versi e-paper dan majalah Tempo versi cetak), setiap berita tentang Papua jadi bacaan wajib sambil menyeruput secangkir kopi dan sebatang rokok di pagi hari, di Askarseba saya sangat jarang menonton televisi, kecuali ada isu yang seksi (yang viral untuk istilah sekarang).

Dari Koteka dan Sajojo, saya juga mulai mengenal budaya Bakar Batu, kegiatan Bakar Batu ini sering dilakukan mahasiswa asal Papua di Askarseba, biasanya dalam acara Askarseba seperti syukuran wisuda atau Reuni Askarseba yang dirangkaikan dengan perayaan Dies Natalis UKSW di seitap tanggal 30 November. Saya juga mulai mengenal fungsi dan kegunaan dari Noken, bahkan saya mendapat hadiah Noken dari Pdt. Dominggus Alexander Agusto Rupiassa yang masih saya gunakan sampai sekarang.

Hadiah Noken dari Pdt. Dominggus A.A. Rupiassa, M.Si. saya ikut membimbing penulisan tesisnya tentang Dewan Adat di Kabupaten Kaimana, Noken ini sengaja dibuatkan khusus untuk saya oleh keluarga dari Istrinya Pdt. Dominggus di Kabupaten Kaimana. Tesis dari Pdt. Dominggus saya jadikan latar belakang dari foto ini. (Foto: Wilson M.A. Therik, 29 Mei 2021)

Ketika menjadi dosen di UKSW (tepatnya di almamater Program Pascasarjana Studi Pembangunan, sekarang dikembangkan menjadi Fakultas Interdisiplin UKSW), saya mulai membimbing mahasiswa yang menulis tesis dan disertasi tentang Papua. Mulai dari Pdt. Dominggus A.A. Rupiassa, M.Si (sekarang menjadi bimbingan saya untuk penulisan disertasi, sedang dalam penelitian lapangan di Kabupaten Kaimana), kemudian Alpius Katagame, M.Si (kini mengabdikan diri di Kabupaten Mimika), Yance Murib (sedang dalam penulisan proposal tesis), Fika Zumrotun (sedang dalam penulisan makalah kualifikasi) dan dr. Farid Yusuf (sedang menulis proposal disertasi tentang Manajemen Terpadu Balita Sakit pada Puskesmas yang ada di Kota Jayapura). Dari mereka berlima, saya semakin mengenal Kabupaten Mimika, Kabupaten Kaimana dan Kota Jayapura secara mendalam melalui diskusi dan penelusuran literatur dan juga mengkuti perkembangan di linimasa media sosial seperti facebook, twitter, instagram dan youtube. Selain membimbing, saya juga menjadi dosen penguji untuk tesis yang ditulis oleh Yakobus Walopka tentang Anak Jalanan di Papua, Studi Kasus di Kota Jayapura, Distrik Jayapura Selatan.

Dari pengalaman mengenal Papua sejak di Kupang hingga ke Salatiga memaksa saya untuk harus berani bicara tentang Papua karena bagaimana pun Papua adalah Indonesia (setidak-tidaknya sejak Tahun 1969 sampai saat ini), apa yang terjadi pada masa yang akan datang tergantung apa yang kita lakukan hari ini karena yang terjadi hari ini adalah warisan dari apa yang terjadi di masa lalu! Ini juga yang menjadi alasan mengapa saya harus “berani” bicara tentang Papua meskipun belum pernah menginjakan kaki di Tanah Papua.

Mulai Berani Bicara Tentang Papua

Bicara tentang Papua bukanlah hal baru, diskusi di warung kopi sudah sering, namun berbicara tentang Papua dalam ruang akademik (yang kemudian bertransformasi menjadi ruang publik) adalah hal yang baru bagi saya, dan itu butuh waktu dan persiapan yang sungguh-sungguh. Baru pada tanggal 25 Oktober 2020 saya mulai memberanikan diri menjadi host dalam acara Diskusi Ilmiah tentang Pembangunan Politik di Papua, bagian dari kuliah Pengantar Ilmu Politik di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi (FISKOM) UKSW dengan narasumber Dekan FISKOM UKSW Dr. Royke Robert Siahainenia. Dengan menjadi host, saya memiliki ruang yang cukup untuk bertanya tentang Papua, ada pengetahuan baru yang bisa saya peroleh tentang perkembangan terkini di Papua terutama di tengah aksi kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi di Papua disepanjang Tahun 2019 dan Tahun 2020.

Flyer kegiatan Diskusi Ilmiah tentang Politik Pembangunan Papua yang digelar oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi (FISKOM) UKSW, bagian dari kuliah Pengantar Ilmu Politik.

Tanggal 8 Mei 2021 adalah untuk pertama kalinya saya tampil sebagai Narasumber dalam diskusi daring tentang “Papua Hari Ini” yang diselenggarakan oleh Millennial Papua dan Papuans Speak (dua komunitas diskusi ilmiah yang digagas oleh kaum millennial Papua yang sedang studi lanjut S1 di berbagai daerah di Indonesia). Diskusi daring ini digelar setelah pemerintah Indonesia menetapkan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua sebagai teroris, rupanya ada kegelisahan dari generasi millennial Papua terkait keputusan pemerintah tersebut, terutama dampak bagi masyarakat sipil yang ada di Papua pasca penetapan status teoris untuk KKB di Papua.

Flyer kegiatan diskusi daring “Papua Hari Ini”, suatu kehormatan bisa berada satu screen dengan Aprila Wayar (Novelis dan Jurnalis asal Papua, kini menetap di Kota Yogyakarta dan menjadi salah satu pengurus Aliansi Jurnalis Independen Kota Yogyakarta) dan Ellen Rachel Aragay, 1st Runner Up Miss Indonesia 2014 yang merupakan representasi kaum millennial perempuan Papua.

Ada banyak sahabat asal Papua dan juga mereka yang bekerja di Papua yang menjadi teman diskusi dalam ruang dan waktu yang berbeda, tidak cukup halaman untuk menulis nama mereka semuanya di sini, syair “Aku Papua” yang diciptakan oleh Alm. Franky Sahilatua kiranya bisa mewakili ucapakan terima kasih saya kepada kalian yang telah membantu mengenalkan Papua lebih dekat lagi. Wa wa wa.

Tanah Papua tanah yang kaya
surga kecil jatuh ke bumi

Seluas tanah sebanyak madu
adalah harta harapan

Tanah papua tanah leluhur
Disana aku lahir

Bersama angin bersama daun
Aku di besarkan

Hitam kulit keriting rambut aku papua
Hitam kulit keriting rambut aku papua
Biar nanti langit terbelah aku papua

Coffee Time ☕️

Penulis: Wilson M.A. Therik

Dosen dan Peneliti di Universitas Kristen Satya Wacana

5 tanggapan untuk “Cara Saya Mengenal Papua”

  1. Pa Wilson saya orang Jayapura tapi masa kecil saya selama sekolah dasar saya tinggal diantara suku Mee, hingga berakhirnya PEPERA tahun 1969. KOTEKA adalah bahasa suku Mee yang menyebutkan labu yang dijadikan penis cover. Waktu Taman Kanak-kanak (TK) pada awal 1960’an saya tinggal di Wamena saat Belanda masih ada di Papua. Orang Dani di Lembah Baliem menyebutnya HOLIM, nama ini akan bervariasi diantara suku-suku yang mengdiami dataran tinggi Papua mulai dari suku Ngalum di Pegunungan Bintang hinggga suku Mee di kabupaten Paniai . KOTEKA tidak ditemukan pada suku-suku yang mendiami pengunungan Arfak dan sekitarnya di Propinsi Papua Barat. ISTILAH KOTEKA terkenal ketika diluncurkan program “Operasi Koteka” yang diinisiasi oleh gubernur Acub Zainal, tetapi gagal. Demikian Pa Wilson. Terima kasih untuk menginformasikan mengenai blog Pa Wilson,sehingga saya bisa akses. TK. ALEXANDER YAKU, MANOKWARI – PAPUA BARAT

    Suka

    1. Terima Kasih pak Alex untuk tambahan informasinya yang ikut memperkaya wawasan saya tentang Tanah Papua, semoga suatu saat nanti saya bisa menginjakan kaki di Tanah Papua. Terima Kasih.

      Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: