
Catatan: artikel dengan judul “Indonesia Sebagai Negara Bangsa-Bangsa” telah dipresentasikan dalam acara Kongres Pancasila XI yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada tanggal 15-16 Agustus 2007 dan dipublikasikan dalam buku Prosiding Kongres Pancasila XI “Aktualisasi Pancasila dalam Merajut Kembali Persatuan Bangsa” yang diterbitkan oleh Pusat Studi Pancasila UGM Yogyakarta (Februari, 2020). Saya posting kembali artikel ini dalam rangka memperingat hari kelahiran Pancasila yang ke-76 Tahun (1 Juni 1945-1 Juni 2021)
ABSTRAK
Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya, hal ini dibuktikan dengan banyaknya suku bangsa dengan beragam adat dan istiadat, beragam kesenian daerah, beragam bahasa daerah, beragam agama suku/agama adat dengan berbagai ritual dan kepercayaan yang masih lestari, beragam warisan arkeologi pra-sejarah. Semuanya membingkai dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan Pancasila sebagai Dasar Negara! Kekayaan yang dimiliki Indonesia ini seharusnya menjadi kekuatan dalam urusan politik dan demokrasi di aras lokal, begitu juga dengan relasi agama dan negara di aras lokal, tidak hanya pada peristiwa Pilkada Serentak tetapi juga dalam berbagai aspek pembangunan berkelanjutan terutama yang bersentuhan dengan sisi kemanusiaan bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang secara adil dan merata. Pada titik inilah dengan semangat Pancasila sebagai dasar negara maka sudah saatnya Indonesia dimaknai sebagai nations state (negara bangsa-bangsa) dan bukan lagi dimaknai dengan nation state (negara satu bangsa) karena pada kenyataannya Indonesia adalah negara banyak bangsa. Para pendiri negara Indonesia sudah membahasnya dalam Himpunan Sidang-Sidang BPUPKI Tahun 1945. Memaknai Indonesia sebagai negara bangsa-bangsa dalam sentuhan pembangunan berkelanjutan tentu tidak dalam arti menjadikan Indonesia sebagai negara federal tetapi ada otonomi perencanaan pembangunan yang diberikan seluas-luasnya kepada daerah tanpa campur tangan dari pusat kekuasaan di Jakarta.
Kata Kunci: Bangsa, Indonesia, Negara, Pancasila.
PENDAHULUAN
Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Pasal 1 Ayat 1 menyatakan bahwa Negara Indonesia merupakan negara kesatuan yang berbentuk republik. Ketentuan ini dipertegas juga dalam Pasal 18 Ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi atas kota dan kabupaten yang tiap-tiap kota, kabupaten dan provinsi tersebut mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dalam undang-undang. Pilihan negara kesatuan tidak muncul begitu saja melainkan lahir dari diskusi dan perdebatan yang panjang diantara para pendiri negara sebagaimana yang terekam di dalam himpunan risalah sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Tahun 1945.
Ir. Soekarno, dalam pidatonya 1 Juni 1945 secara panjang lebar mengilustrasikan pandangannya lebih lanjut tentang pembentukan dasar-dasar negara Indonesia yang penulis kutip dari Pidato Ir. Soekarno tanggal 1 Juni 1945 dalam Risalah Sidang BPUPKI Tahun 1945 sebagai berikut:
“Dasar-dasar suatu negara haruslah sesuatu yang dikaji sungguh-sungguh, dipikirkan sungguh-sungguh, dan dianalisa secara sungguh-sungguh apakah sudah sesuai bagi suatu bangsa, lebih-lebih bagi suatu bangsa seperti Indonesia yang begitu majemuk, keragaman agama, suku, bangsa, budaya dan adat istiadat. Di samping Islam sebagai agama mayoritas, ada juga agama Hindu, Buddha, Kristen Protestan, dan Kristen Katolik. Oleh karena itu dasar- dasar suatu negara tidak bisa dibuat secara serampangan dan hanya mempertimbangkan satu kelompok tertentu saja, untuk itu perlu dipikirkan secara matang”.
Ada pesan yang mendalam dari isi pidato Ir. Soekarno bahwa Indonesia tidak hanya didirikan untuk satu kelompok saja karena Indonesia memiliki keragaman agama, suku, bangsa, budaya dan adat istiadat. Bagi penulis disinilah ruang untuk memaknai Indonesia sebagai negara bangsa-bangsa (nations state) dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Makalah ini tidak untuk membahas mengapa konstruksi negara kesatuan yang dipilih dan bukan konstruksi negara federal mengingat Indonesia adalah negara yang memiliki kekayaan (keragaman) baik dari sisi agama, etnis, bahasa, budaya, adat istiadat, sehingga muncul pandangan bahwa negara federal yang lebih compatible dengan kondisi Indonesia (sebagaimana perdebatan yang terekam di dalam himpunan risalah sidang-sidang BPUPKI Tahun 1945). Sekadar ingatan bahwa Indonesia juga pernah mengalami perubahan bentuk ke negara federal pada Tahun 1949 yakni dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS) yang dibentuk pada tanggal 27 Desember 1949 dan kemudian pada bulan Juli 1950 dicapai kesepakatan untuk mengubah bentuk federal dari RIS ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (Tirtoprodjo, 1966).
Fokus dari makalah ini adalah bagaimana memaknai Negara Indonesia sebagai negara bangsa- bangsa (nations state) bukan lagi memaknai Negara Indonesia sebagai negara satu bangsa (nation state) karena faktanya Negara Indonesia terdiri atas 1331 kelompok suku yang berbeda- beda (BPS Indonesia, 2010), 750 bahasa daerah yang berbeda (Badan Bahasa Kemendikbud, 2019), serta sejumlah agama suku/agama adat seperti Marapu, Kejawen, Samin, Kaharingan, Tolotang, Sunda Wiwitan dan berbagai agama suku/agama adat lainnya yang masih lestari, belum termasuk berbagai keragaman kesenian (tarian dan lagu daerah) yang menjadi ciri khas setiap suku yang ada di Negara Indonesia.
Fakta lain yang juga mendukung cara pandang penulis untuk memaknai Negara Indonesia sebagai negara bangsa-bangsa adalah gejolak yang terjadi di Tanah Papua tidak hanya peristiwa yang terjadi pada bulan Agustus 2019 yang lalu tetapi juga sejak Papua menjadi bagian dari Negara Indonesia pada 1 Mei 1963 (saat itu masih dengan nama Irian Barat), selalu ada gejolak tentang Papua, sudah banyak hasil-hasil penelitian dan liputan jurnalistik yang menjelaskan tentang pembangunan di Tanah Papua baik kisah sukses maupun cerita kegagalan. Menyelesaikan masalah pembangunan di Tanah Papua harus dengan pendekatan budaya orang Papua itu sendiri, belum lagi stigma yang membedakan antara orang gunung dan orang pantai di Tanah Papua (entah siapa yang memulai) tetapi kondisi seperti ini harus diselesaikan dengan pendekatan budaya orang Papua.
Fakta empiris lainnya yang juga bisa digunakan untuk dijadikan alasan mendasar memaknai Negara Indonesia sebagai negara bangsa-bangsa, contohnya Suku Rote di Pulau Rote, pulau terdepan di bagian selatan Indonesia yang berbatasan langsung dengan Benua Australia, di pulau Rote sesungguhnya ada 20 suku, yakni Bilba, Ringgou, Landu, Keka, Thie, Dengka, Oenale, Delha, Baa, Termanu, Ndao, Lelain, Lole, Talae, Korbafo, Bokai, Lelenuk, Diu, Oepao dan Suku Ndana yang sudah punah karena seluruh warganya kalah perang dengan warga dari Suku Thie (Therik, 2014). Demikian juga dengan Suku Batak di Provinsi Sumatera Utara yang sesungguhnya terdapat beberapa suku seperti Karo, Simalungun, Toba, Pakpak, Angkola, Mandaling. Atau Suku Dayak di Pulau Kalimantan yang terdiri dari Suku Dayak Iban, Dayak Apokayan, Dayak Manyan, Dayak Ngaju, dan lain-lain. Ini baru sebagian kecil dari banyaknya fakta empiris tentang kelestarian suku-suku bangsa yang ada di Negara Indonesia, sampai pada titik ini menurut hemat penulis, tidak ada pilihan lain selain memaknai Indonesia sebagai negara bangsa-bangsa dalam konteks pembangunan manusia Indonesia yang berkelanjutan.
Memaknai Negara Indonesia sebagai Negara Bangsa-Bangsa dalam makalah ini lebih diberatkan kepada perencanaan pembangunan nasional agar memberi ruang yang seluas- luasnya (otonomi) kepada daerah (provinsi, kabupaten dan kota) dengan menempatkan/mengangkat kearifan lokal (local knowledge) agar sejajar dengan pelaksanaan kebijakan pembangunan di tengah-tengah kemajuan teknologi informasi yang kiat pesat. Hal ini juga sesuai dengan Ideologi Negara Indonesia yakni Pancasila terutama pada Sila Kedua Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab dan Sila Kelima Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
METODE
Metode utama yang digunakan adalah metode berpikir kritis (critical thinking) tidak hanya pada tataran berpikir tetapi juga dimulai dari tahapan membaca secara kritis (critical reading) terutama untuk penelusuran literatur serta menulis hasil penelusuran literatur juga dilakukan dengan metode menulis kritis (critical writing) dengan paradigma interpretatif yang merupakan tradisi dari penelitian kualitatif (Denzin & Lincoln, 2009).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Memaknai Indonesia sebagai negara bangsa-bangsa yang juga merupakan judul dari makalah ini tidak dimunculkan begitu saja melainkan lahir dari penelitian lapangan yang lama serta diskusi teoretis yang mendalam yang dilakukan oleh peneliti sejak Tahun 2007 hingga Tahun 2014 di Pulau Rote, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), salah satu temuan pentingnya adalah Pulau Rote merupakan realitas yang terbagi atas 20 kerajaan yang disebut nusak (Therik, 2014). Masing-masing nusak memiliki struktur dengan fungsi utama sebagai berikut:
- Fungsi Eksekutif: Manek (Raja) adalah kepala pemerintahan yang dibantu Fetor (Wakil Raja), Langgak/Nggitak (Kepala Dusun/Kepala Kampung).
- Fungsi Legislatif: Mane Leo (Kepala Suku Tak Berteritorial), Manesongo (Pembuat aturan ritual/pembaca doa) ManekilaoE (Pembuat aturan pembagian air/mata air untuk irigasi)
- Fungsi Yudikatif: Mane Dope/Manemok (Hakim Ketua/Hakim Agung) Mane Dombe (Jaksa Adat), Mane Nulla (Hakim Sengketa Hutan), Dae Langgak (Hakim Sengketa Tanah).
Struktur nusak di pulau Rote menunjukkan bahwa nusak merupakan bentuk dari “negara etnik” (etnic state). Artiya, masyarakat Suku Rote sudah sejak lama bernegara (memiliki otonomi daerah) jauh sebelum Indonesia hadir sebagai Negara Kesatuan pada tanggal 17 Agustus 1945. Masyarakat Rote menghormati nusak tidak saja sebagai lembaga pemerintahan tetapi sekaligus sebagai lembaga peradilan adat yang mengatur seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat Rote pada masa lalu di saat nusak masih ada maupun pada masa sekarang di mana penghayatan akan nusak tetap dilakukan dengan cara menghormati fungsi-fungsi adat yang dijalankan oleh seorang Mane Leo (Kepala Suku Tidak Berteritorial) hingga saat ini. Penghormatan kepada Mane Leo tidak sebatas untuk melestarikan nilai-nilai dari nusak tetapi Mane Leo juga berperan dalam membantu Kepala Desa/Lurah dan Camat terkait dengan berbagai perencanaan dan program kerja pembangunan di desa dan kecamatan. (Therik, 2014).
Pengalaman kerajaan (nusak) di pulau Rote berbeda dengan bentuk struktur/kekuasaan raja- raja lainnya yang ada di daerah lain di NTT seperti masyarakat kerajaan/suku Buna yang dipimpin oleh seorang Nai (Raja) yang berfungsi sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepada adat (Bele, 2011) demikian juga dengan masyarakat kerajaan/suku Abui di pulau Alor yang dipimpin oleh seorang Lur (Raja), masyarakat kerajaan Munaseli di ujung timur pulau Pantar menyebut rajanya dengan Raka/Rajang dan masyarakat pada kerajaan-kerajaan di pulau Timor (khususnya Timor Barat) mengenal Usif sebagai Raja. Masyarakat Suku Sabu di pulau Sabu dipimpin oleh Mone Ama yang bertugas sebagai kepala/pemangku adat, di kerajaan Lio di pulau Flores dipimpin oleh Mosalaki, di pulau Sumba di kenal dengan Kabihu, di Manggarai disebut dengan Dalu-Dalu. Seluruhnya merupakan pemimpin tertinggi dalam menjalankan fungsi eksekutif, legislatif dan yudikatif sekaligus (Depdikbud, 1984).
Struktur/kekuasaan Raja-raja di luar NTT juga berbeda dengan struktur/kekuasaan nusak. Seperti di Bali mengenal Bandesa Adat atau Kelian Adat sebagai Kepala Adat atas Desa Adat yang dikenal dengan sebutan Banjar (Wibowo, 2010). Masyarakat di Daerah Istimewa Yogyakarta misalnya menghormati Sri Sultan dan Pangeran Pakualaman tidak sebatas sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur tetapi lebih sebagai seorang Raja yang memiliki kekuasaan penuh atas pemerintahan serta adat istiadat Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat (Soemardjan, 2009). Omerling (1956) dan Fox (1996) mengemukakan bahwa meskipun Raja di Rote (Manek) ditetapkan berdasarkan faktor genealogis namun seorang Manek tidak serta merta memiliki kekuasaan penuh atas Nusak yang dipimpinnya. Dari gambaran tentang struktur pemerintahan nusak dengan fungsi-fungsi yang melekat pada nusak yang fungsi eksekutif, fungsi legislatif dan fungsi yudikatif, sesungguhnya menyiratkan bahwa nusak tidak hanya sebatas sebagai sebuah kerajaan atau lembara peradilan adat semata, tetapi nusak juga merupakan cerminan dari sebuah “negara-etnik” (etnic state). (Therik, 2014).
Bangsa (nation) atau nasional, nasionalitas atau kebangsaan, nasionalisme atau paham kebangsaan, semua istilah tersebut dalam kajian sejarah terbukti mengandung konsep-konsep yang sulit dirumuskan. Selain istilah bangsa, dalam Bahasa Indonesia juga digunakan istilah nasional, nasionalisme yang diturunkan dari kata asing “nation” yang bersinonim dengan kata bangsa. Tidak ada rumusan ilmiah yang bisa dirancang untuk mendefinisikan istilah bangsa secara obyektif, tetapi fenomena kebangsaan tetap aktual hingga saat ini (Therik, 2014).
Anderson (2008) dalam bukunya “Imagined Communitites” yang dikenal dengan teorinya tentang asal-usul kebangkitan bangsa-bangsa di dunia, yang pemikirannya sebenarnya masih berada dalam pengaruh teori Ernest Renan mengemukakan bahwa Indonesia yang kita kenal saat ini merupakan realitas imajiner atau komunitas-komunitas imajiner. Teori “komunitas imajiner” yang dikemukakan Anderson jika dibawa ke dalam konteks Indonesia saat ini, maka apa yang dikemukakan oleh Anderson sudah tidak relevan lagi karena berbagai suku bangsa yang ada di Indonesia adalah komunitas yang saling mengenal satu sama lain, komunitas yang saling berjumpa, bukan komunitas imajiner semata.
Sebagaimana yang telah penulis kemukakan di bagian awal makalah ini bahwa Indonesia bukan terdiri dari satu bangsa saja tetapi terdiri dari banyak bangsa, misalnya bangsa Melayu, bangsa Jawa, bangsa Bugis yang masing-masing memiliki kebudayaan yang berbeda-beda. Sampai saat ini belum ada survey untuk memastikan berapa jumlah bangsa dan suku-suku bangsa (termasuk tarian daerah, lagu daerah, bahasa daerah, agama suku/agama adat, dan lain-lain) yang tersebar di seluruh wilayah Negara Indonesia. Satu hal yang pasti adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah “negara bangsa-bangsa” (nations state) dan negara bangsa-bangsa merupakan tempat di mana kita merasa ada ikatan alamiah satu sama lain lantaran kita memiliki bahasa yang sama yaitu bahasa Indonesia dan bahasa daerah yang begitu banyak jumlahnya, agama suku/agama adat yang begitu beragam selain agama resmi yang diakui oleh negara, atau apapun yang keragamannya cukup kuat untuk dimiliki dan dijalani sebagai negara kesatuan yang punya banyak bangsa.
KESIMPULAN
Spirit nusak di pulau Rote pada masa lalu sesungguhnya menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara kesatuan yang memiliki kekayaan (keragaman) yang sekaligus menjadi kekuataan kebudayaan Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan yaitu banyaknya bangsa dengan kebudayaannya yang otonom namun sungguh sangat disayangkan ketika perencanaan pembangunan nasional dirumuskan sebagaimana yang telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional justru mengabaikan pranata-pranata sosial dan kerarifan lokal (local knowledge) yang ada di berbagai daerah di Indonesia. Seperti yang telah penulis kemukakan dibagian awal makalah ini tentang peristiwa di Tanah Papua adalah contoh nyata pengabaian terhadap pranata-pranata sosial dan kearifan lokal yang ada di Tanah Papua dan juga di berbagai daerah lainnya di Indonesia yang sesungguhnya merupakan modal sosial (social capital) bagi Indonesia dalam menjalankan amanah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Memaknai Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai Negara Bangsa-Bangsa (Nations State) adalah suatu discourses analysis yang harus terus didialektikan dan didiskusikan baik pada aras akademis maupun pada aras non akademis oleh berbagai elemen bangsa terutama dalam penyusunan sistem perencanaan dan pembangunan nasional yang berbasis pada pranata- pranata sosial dan kearifan lokal (local knowledge).
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Benedict. (2008). Imagined Communities. Yogyakarta: INSIST dan Pustaka Pelajar.
Badan Pusat Statistik (2010) Sensus Penduduk Indonesia Tahun 2010 dalam http://www.bps.go.id
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2019) Bahasa dan Peta Bahasa di Indonesia dalam http://petabahasa.kemdikbud.go.id
Bele, Antonius. (2011). Nurani Orang Buna, Spiritual Capital Dalam Pembangunan. Salatiga: Program Pascasarjana Studi Pembangunan UKSW bekerjasama dengan Yayasan Penerbit Gita Kasih.
Denzin, Norman K & Yvonna S. Lincoln, (2009), Handbook of Qualitative Research. USA: Sage Publications.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1984) Sejarah Daerah NTT. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Iventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.
Fox, James J. (1996) Panen Lontar, Perubahan Ekologi dalam Kehidupan Masyarakat Rote dan Sawu. Jakarta: PT. Pustaka Sinar Harapan.
Omerling, F.J. (1956) The Timor Problems, A Geographical Interpretation of an Underdevelopment Island. Jakarta dan Groningen: J.W. Wolters.
Risalah Sidang-Sidang Badan Penyelidikan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta (1959).
Soemardjan, Selo. (2009). Perubahan Sosial di Yogyakarta. Jakarta: Komunitas Bambu.
Therik, Wilson M.A. (2014), Relasi Negara dan Masyarakat di Rote. Salatiga: Satya Wacana University Press.
Tirtoprodjo, Susanto, (1966), Sedjarah Revolusi Nasional Indonesia. Djakarta: Penerbit Pembangunan.
Wibowo, Arief. (2010), Sistem Pemerintahan Bali. Dalam https://staff.blog.ui.ac.id/arif51/2010/01/20/sistem-pemerintahan-bali/
Saya kira judul makalah ini “Indonesia sebagai negara bangsa-bangsa” kurang tepat, karena bangsa-bangsa merujuk pada makna dimana lahirnya negara Indonesia yang beragam suku bangsa, karena dulunya Indonesia merupakan pusat perdagangan, dimana didalamnya terjadi akulturasi budaya dari sini bisa di bilang Indonesia adalah negara dari berbagai macam bangsa.
SukaSuka
Argumentasi Anda juga menunjukkan bahwa sesungguhnya Indonesia adalah Nations State dan bukan Nation State. Terima Kasih.
SukaSuka