Profesor Kehormatan (?) dan Etika Akademik!

Ilustrasi Profesor (Sumber: anakbertanya.com)

Catatan Lepas ini tentu tidak terlepas dari peristiwa pengukuhan Megawati Soekarnoputri (Presiden Republik Indonesia Periode 2001-2004) sebagai Profesor Kehormatan di Universitas Pertahanan pada tanggal 11 Juni 2021 yang lalu. Terlepas dari pro dan kontra yang ada, satu hal yang pasti adalah gelar akademik tertinggi itu adalah Doktor, tidak ada lagi gelar akademik yang lebih tinggi dari Doktor, ini berlaku di negara mana pun di dunia. Profesor atau guru besar adalah jabatan akademik tertinggi (bukan gelar akademik) yang diberikan kepada dosen aktif di perguruan tinggi yang memenuhi persyaratan akademik tertentu, di Indonesia diatur melalui Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Untuk menduduki jabatan akademik guru besar/profesor, harus memiliki kualifikasi akademik doktor dan harus mengumpulkan angka kredit (cum) terkait Tri Darma Perguruan Tinggi.

Rata-rata masa studi doktoral itu butuh waktu 4 Tahun, untuk studi doktor antropologi/ etnografi terkadang butuh waktu hingga 7 Tahun lamanya. Belum lagi di Indonesia, dosen diberi beban administrasi akademik yang membelenggu. Dosen pada akhirnya menjadi birokrat karena terjebak dalam kewajiban administrasi, wajar saja jika kuantitas dan kualitas publikasi dosen/peneliti di Indonesia masih ada pada urutan rendah dibandingkan negara lain di Asia Tenggara, belum lagi dukungan anggaran penelitian yang angkanya tidak sampai 1 digit dari total Produk Domestik Bruto Indonesia. Artinya untuk mencapai jabatan akademik profesor atau guru besar yang penuh integritas di Indonesia bukanlah hal yang gampang, selain mempertaruhkan integritas, etika akademik juga dipertaruhkan secara individu maupun institusi, selain rintangan administrasi yang membelenggu. Penganugerahan gelar profesor kehormatan (?) adalah bagian dari politik pendidikan yang mengabaikan integritas dan etika akademik!

Honoris Causa Itu Setingkat Doktor (bukan Profesor)

Lionel Woodville (Uskup Salisbury di Inggris) adalah orang pertama dalam sejarah yang mendapat gelar akademis kehormatan (honoris causa). Ia mendapat gelar akademis (setingkat doktor untuk saat ini) honoris causa di bidang hukum kanonik—aturan hukum untuk gereja dan penganutnya—dari Universitas Oxford di tahun 1478. Artinya pemberian gelar akademis kehormatan (honoris causa) bukanlah sesuatu yang baru dalam budaya akademik di dunia, tapi bukan pemberian gelar profesor honoris causa, karena memang tidak ada gelar profesor di negara mana pun di dunia, yang ada adalah jabatan akademik profesor atau guru besar. Jika sudah pensiun, disebut guru besar emeritus atau profesor emeritus. Profesor yang pindah homebase dari perguruan tinggi ke lembaga politik seperti menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat atau menjadi Menteri, menjadi Kepala Daerah, atau jabatan publik lainnya di luar kampus maka tidak pantas/tidak etis untuk menggunakan jabatan profesor-nya termasuk mencetak kartu nama dengan ‘Prof’ di depan nama karena profesor itu berada di kampus, aktif mengajar, aktif meneliti, aktif mengisi seminar/menjadi pemakalah, aktif membimbing mahasiswa dan aktif menulis karya ilmiah.

Seharusnya Megawati Soekarnoputri diberi gelar kehormatan akademis (Honoris Causa) setingkat Doktor, ini sesuai dengan budaya akademik dan etika akademik, masyarakat akademik Indonesia juga bisa memahami karena sumbangsih Megawati Soekarnoputri ketika menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia membawa perubahan dalam pembangunan Indonesia pasca Orde Baru antara lain pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi, pemisahan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia menjadi Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia, pembentukan Mahkamah Konstitusi, dan lain-lain, selain meneruskan usaha dari Presiden B.J. Habibie (Presiden Ketiga) dan Presiden Gus Dur (Presiden Keempat).

Profesor Berbasis Publikasi bukan Administrasi

Sudah saatnya persyaratan untuk menjadi profesor atau guru besar di Indonesia direvisi dari persyaratan pengumpulan angka kredit (cum) yang output­nya berbasis administrasi ke output yang berbasis pada publikasi ilmiah bermutu (tidak terjebak pada scopus), publikasi ilmiah bermutu itu dinilai dari berapa jumlah publikasi ilmiah setiap tahun dan berapa jumlah sitasi setiap tahun serta siapa saja yang mensitasi setiap tahun, apakah penulis terkenal atau penulis tidak terkenal, masing-masing diberi bobot yang rasional (publikasi ilmiah itu tidak hanya artikel jurnal tapi juga buku teks bermutu dan karya ilmiah lainnya yang berdampak pada pembangunan berkelanjutan), dengan cara ini dosen/peneliti akan berlomba-lomba meneliti dan menulis karya ilmiah di setiap semester ketimbang membuang waktu dengan mengumpulkan berbagai surat tugas, surat keputusan, sertifikat, berita acara, dan lain-lain dalam rangka mengumpulkan cum. Dosen juga harus dibebaskan dari pertanggungjawaban keuangan penelitian berupa laporan keuangan/pengumpulan kwitansi-kwitansi, pertanggungjawaban penelitian dosen seharusnya sudah berbasis pada kinerja publikasi ilmiah bukan lagi berbasis pada kumpulan kwitansi.

Ya sudahlah, sing waras ngalah ☕️

Penulis: Wilson M.A. Therik

Dosen dan Peneliti di Universitas Kristen Satya Wacana

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: