Rokok

Berbeda cara pandang itu hal biasa dan tidak perlu diperdebatkan!

Merokok adalah aktivitas legal, tidak melanggar hukum! Karena itulah pada ruang publik seperti bandar udara, terminal, stasiun, pelabuhan diberi ruangan khusus untuk para perokok. Pada pusat perbelanjaan seperti mall juga menyediakan tempat khusus untuk merokok (atau pada café tertentu yang juga menyediakan space terbuka untuk merokok). Hotel berbintang dan hotel melati pun sudah mengatur kamar untuk merokok dan kamar yang tidak boleh untuk merokok. Kecuali pada objek vital seperti SPBU, rumah sakit, puskesmas, tempat praktek dokter/bidan, apotek, dan kompleks pendidikan harus benar-benar bebas dari aktivitas merokok tapi pada lembaga pendidikan tinggi tertentu masih ada yang menghargai hak-hak para perokok dengan cara menyediakan space atau spot tertentu di halaman kampus bagi para civitas akademika yang merokok (kampus tempat saya mengajar adalah salah satunya).

Aktivitas merokok di Indonesia bukanlah hal yang baru bahkan sudah berlangsung jauh sebelum Indonesia hadir sebagai sebuah negara, kisah Nyi Roro Mendut adalah salah satu contoh, uniknya lagi Nyi Roro Mendut memilih rokok (dan merokok) sebagai alat perlawanan atas kesewenang-wenangan penguasa. Beberapa pemikir, pemimpin dan penulis hebat Indonesia juga akrab dengan rokok sebut saja diantaranya Soekarno, Jenderal Sudirman, Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, dll. Bahkan akademikus fisika terkenal dunia seperti Albert Enstein juga perokok keras, ahli inovasi teknologi Apple yakni Steve Jobs juga seorang perokok berat. Para petani, nelayan, aktivis, jurnalis, pedagang kaki lima, seniman, budayawan, artis, pejabat, mahasiswa, dosen, guru, peneliti, beberapa diantaranya adalah perokok aktif. Contoh-contoh yang dikemukakan ini menunjukkan bahwa rokok (dan merokok) mendapat tempat dalam ruang sosial-budaya di Indonesia dan dunia.

Rokok (dan merokok) selalu menjadi perdebatan tatkala dibawa ke dalam ranah sosial- ekonomi dan aspek kesehatan. Untuk alasan ekonomi, penerimaan pemerintah Indonesia dari cukai rokok berada pada angka yang fantastis selalu di atas 100 triliun rupiah setiap tahun, industri rokok juga memperkerjakan para buruh (dampak ekonomi dinikmati keluarga para buruh) dalam jumlah yang tidak sedikit, para keluarga petani tembakau dan keluarga petani cengkeh juga ikut serta menikmati keuntungan dari pembelian tembakau dan cengkeh untuk pembuatan rokok, begitu juga dengan pedagang rokok eceran maupun grosir juga ikut menikmati keuntungan dari menjual rokok. Rokok adalah hukum ekonomi D-S (Demand dan Supply), selalu ada mata rantai ekonomi dari produsen ke konsumen untuk memenuhi D-S rokok di Indonesia. Kecuali industri rokok di Indonesia tutup, maka yang berjaya adalah industri rokok impor dan kemungkinan lahirnya industri rokok ilegal (tentu mereka tidak membayar pajak dan cukai pada pemerintah), hal ini tentu berdampak secara hukum selain dampak ekonomi. Lalu bagaimana rokok dalam ranah kesehatan? Teknologi kesehatan seharusnya dapat menjawab berbagai permasalahan kesehatan para perokok aktif maupun perokok pasif. Rencana menaikan cukai rokok antara 20-35% pada Tahun 2020 berpotensi “melahirkan” industri rokok ilegal dengan harga murah karena pembeli rokok legal tak semuanya mampu membayar rokok legal karena terlampau mahal. Secara psikologis, saya masih yakin berapa pun harga rokok legal dipatok, selalu akan ada pembeli sebagaimana hukum ekonomi D-S hanya jumlah pembelinya akan berkurang, potensi PHK karyawan pabrik rokok sangat terbuka.

Lalu bagaimana?

Kembangkan teknologi kesehatan tanpa harus mengabaikan hak-hak para perokok (pemasukan negara dari cukai rokok bisa dialihkan untuk riset dan pengembangan teknologi kesehatan). Peraturan Daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok harus dihormati dengan cara menyediakan tempat yang representatif untuk para perokok karena bagaimana pun juga aktivitas merokok adalah aktivitas yang legal yang dilindungi oleh Undang-Undang.

Organisasi yang membela hak-hak perokok/konsumen rokok seperti LKRI (Lembaga Konsumen Rokok Indonesia) perlu menggandeng pihak perguruan tinggi untuk melakukan kajian secara khusus seperti usia harapan hidup para perokok berada pada usia berapa tahun? Selain secara sosial-budaya sudah didukung fakta bahwa para orang-orang hebat yang juga perokok kelas berat, mereka hidup rata-rata di atas 70 Tahun.

Kalau cocok, ya mari sebat sambil ngopi! Kalau beda cara pandang, ya mari ngopi! Gitu aja kok repot.

Penulis: Wilson M.A. Therik

Dosen dan Peneliti di Universitas Kristen Satya Wacana

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: