Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring, kata ‘profesi’ memiliki arti: bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan, kejuruan, dan sebagainya) tertentu. Kemudian pemerintah Indonesia menterjemahkannya bahwa setiap orang yang menjalankan jasa profesi harus memiliki sertifikat profesi agar dinilai kompeten atau layak dengan profesi yang dijalankan. Apakah seorang driver (supir) butuh sertifikat profesi? menurut saya tidak, karena syarat menjadi driver sudah diuji melalui proses permohonan Surat Ijin Mengemudi (SIM). Lalu bagaimana dengan profesi fotografer?
Apakah seorang fotografer layak disebut fotografer jika sudah memiliki sertifikat kompetensi fotografi? jawabannya adalah tidak! Karena seseorang disebut fotografer itu dilihat dari hasil karyanya, bukan dari sertifikatnya! Pada titik ini, sertifikasi komptenesi fotografi itu lebih kepada kebutuhan bukan pada keharusan atau kewajiban. Jika ingin menaikkan derajat profesi fotografer maka sekali lagi bukan pada sertifkatnya tapi pada hasil karya foto yang benar melalui proses yang baik (baca: etis), belajar otodidak pun bisa, tidak harus lulus sertifikasi kompetensi fotografi.
Saya punya pengalaman mengikuti sertifikasi kompetensi fotografi yang diselenggarakan oleh salah satu Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) yang bernaung dibawah Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) yang mana asesornya sangat kaku dan terpaku pada jawaban pada template yang sudah disediakan pada lembaran tertulis, asesor jadi tukang centang form saja, tidak ada proses dialektika, jika asese menjawab pertanyaan tidak sesuai dengan template jawaban yang tertera maka kesimpulannya adalah asese tidak berkompeten atau dinyatakan tidak lulus, meskipun ada proses banding (itu pun harus menunggu sekitar sebulan), proses banding pun tidak ada jaminan untuk asese dinyatakan lulus selama pihak penyelenggara tetap berpatokan pada template jawaban. Kalau prosesnya seperti ini maka, kasihan juga mereka yang hidup dari fotografi dianggap tidak kompeten karena tidak lulus proses sertifikasi, sekali lagi fotografer itu dilihat dari hasil karyanya bukan dari asesment yang kaku.
Semoga organisasi profesi fotografer seperti Indonesia Professional Photographer Association (IPPA), Asosiasi Profesi Fotografi Indonesia (APFI), Perhimpunan Amatir Foto (PAF) Bandung, dan berbagai organisasi fotografi yang ada di Indonesia memberi perhatian pada aspek sertifikasi kompetensi fotografi di Indonesia untuk membuka ruang berdialektika dalam proses asesment lapangan.
Salam Jepret.